Jakarta,(CYBER24.CO.ID) – Konferensi Iklim Global (CoP-30) di Belem, Brazil, telah resmi dimulai, namun Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai proses pra-rangkaian, termasuk High-Level Meeting para pimpinan negara, minim transparansi dan mengabaikan partisipasi bermakna dari masyarakat terdampak serta kelompok rentan.
Di tengah kebutuhan mendesak akan tindakan iklim yang adil dan berkelanjutan, ARUKI menegaskan bahwa panggung CoP-30 belum mampu menyediakan proses inklusif dan berpihak pada keadilan iklim.
Meskipun CoP-30 diklaim sebagai ‘COP-nya Hutan’, kenyataannya laju deforestasi akibat ekspansi industri ekstraktif terus melonjak. Ini terlihat jelas di Tanah Papua, yang menyimpan hutan tropis terluas di Indonesia dan memiliki peran vital dalam adaptasi iklim global.
“Fakta di Papua mengerikan. Proyek atas nama pembangunan, termasuk perkebunan sawit dan tambang, menyebabkan deforestasi. Setidaknya 1,3 juta hektar hutan hilang antara 2001–2019,” tegas Maikel Peuki, Direktur Eksekutif WALHI Papua, dalam dialog publik ‘Suara Rakyat Indonesia untuk CoP-30’,Senin (10/11).
Maikel menambahkan, ancaman deforestasi saat ini didorong oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke, yang menghilangkan 9.835 hektar hutan primer hingga Juni 2025, serta industri sawit yang bertanggung jawab atas hilangnya 3.577 hektar pada tahun 2024.
Agenda pendanaan iklim di CoP-30 juga disoroti ARUKI. Kerangka pendanaan yang dibahas dinilai lemah transparansi dan berpotensi menjadi “proyek iklim sesat” yang jauh dari prinsip keadilan. Sementara itu, dampak kehilangan dan kerusakan (loss and damage) terus meningkat.
Di Pulau Pari, yang diprediksi tenggelam pada tahun 2050, masyarakat telah mengalami kerugian nyata.
“Pulau Pari menghadapi kehilangan 11% kawasan akibat krisis iklim dan banjir rob bisa terjadi 3-4 bulan dalam setahun. Nelayan mengalami gagal panen,” ungkap Asmania, Perempuan Pulau Pari.
Asmania menuntut agar Pemerintah Indonesia dan CoP-30 menghasilkan keputusan berkeadilan, termasuk evaluasi dan pencabutan kebijakan perusak seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan izin reklamasi laut yang memperparah kondisi.
Alih-alih menghentikan kerusakan, dalih transisi energi seringkali menjadi “wajah ganda” perluasan ekstraktif. Di Kepulauan Bangka Belitung, deforestasi masif menyebabkan hilangnya 460.000 hektar hutan tropis (2014-2020), di mana 70% wilayah daratan dibebani izin ekstraktif.
”Terdapat hingga 12.607 kolong tambang yang tidak direklamasi. Kerusakan ini memicu banjir besar, kekeringan, dan menyebabkan 26 kasus tenggelam antara 2021-2024, di mana 14 korbannya adalah anak-anak,” jelas Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Eksekutif WALHI Bangka Belitung.
Hafidz mendesak agar solusi iklim palsu dari negara, seperti co-firing PLTU, Hutan Tanaman Energi (HTE), dan rencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Kelasa, segera dievaluasi karena hanya menambah beban ekologis.
ARUKI juga menyoroti absennya pelibatan bermakna penyandang disabilitas dalam perundingan iklim, meskipun mereka merupakan sekitar 15% populasi dunia dan paling rentan terhadap dampak krisis iklim.
“Penyandang disabilitas lebih rentan, sulit beraktivitas saat bencana iklim, dan sering terlupakan dalam proses evakuasi. Bantuan dan tempat penampungan juga tidak aksesibel,” kata Maria Un, Perempuan Disabilitas dan Masyarakat Adat asal Sulawesi Selatan.
Maria, yang juga Ketua HWDI Sulsel, menuntut CoP-30 untuk mengakui penyandang disabilitas sebagai subjek utama dalam seluruh pilar negosiasi (adaptasi, mitigasi, loss and damage, dan pendanaan), serta memastikan seluruh proses dan dokumen memenuhi standar aksesibilitas universal.
Sementara itu, Gofur Kaboli, Nelayan asal Ternate, mendesak CoP-30 untuk memberikan jaminan dan perlindungan hak-hak nelayan kecil secara global, serta menuntut Pemerintah Indonesia untuk merespons cepat terhadap cuaca ekstrem yang dihadapi nelayan.
Dialog Publik ‘Suara Rakyat Indonesia untuk CoP’ diselenggarakan pada Senin, 10 November, sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Rakyat untuk Keadilan Iklim yang dihasilkan ARUKI melalui Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) pada Agustus 2025. Deklarasi ini ditujukan sebagai resolusi politik keadilan iklim untuk CoP-30.
Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) adalah blok politik nasional yang melibatkan lebih dari 35 organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Didirikan pada November 2023, ARUKI hadir untuk mendorong perubahan sistemik menuju terwujudnya keadilan iklim dengan landasan keadilan sosial, pemenuhan hak-hak dasar, dan penguatan solidaritas.
(Yuven Fernandez)



























