Pelalawan,(CYBER24.CO.ID) – Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), yang dulunya dikenal sebagai benteng keanekaragaman hayati dan habitat krusial bagi spesies langka, kini menghadapi tingkat kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Laporan dari kelompok lingkungan dan masyarakat setempat mengindikasikan deforestasi luas, pembalakan liar, dan perambahan yang masif, menimbulkan pertanyaan mendesak mengenai efektivitas dan tanggung jawab manajemen balai Taman Nasional Tesso Nilo.
Kunjungan Ketua Tim Satgas PKH, Kasum TNI Letjen Richard TH Tampubolon SH.MM, pada Selasa (10/6/2025) di kawasan TNTN, Kecamatan Ukui, menyoroti tingkat kerusakan parah yang dialami hutan konservasi ini. Dari luas awal 81.739 hektare, TNTN kini hanya menyisakan sekitar 20 ribu hektare, yang terdiri dari hutan primer (6.720,25 Ha), hutan sekunder (5.499,59 Ha), dan semak belukar (7.074,59 Ha). Sebagian besar kawasan telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Sebagian besar lahan yang hilang tersebut telah beralih fungsi secara ilegal menjadi perkebunan kelapa sawit. Ini berarti sekitar 75% dari total area konservasi telah musnah, sebuah tragedi ekologis yang tak terbayangkan.
Banyak pihak menunjuk langsung Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo beserta seluruh jajarannya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis lingkungan yang terus memburuk ini.
Meskipun telah diamanahi oleh negara dengan sumber daya, gaji, dan fasilitas yang besar untuk melindungi aset alam yang vital ini, TNTN tersebut terus menderita kerusakan parah di bawah pengawasan mereka.
“Kerusakan yang terus-menerus terjadi di Tesso Nilo adalah kegagalan tata kelola yang sangat memprihatinkan,” ujar Amri Koto, seorang Pegiat Lingkungan Hidup.
“Sudah terlalu lama kita melihat minimnya tindakan nyata dan akuntabilitas dari pimpinan balai. Masyarakat berhak tahu langkah-langkah apa yang telah diambil, dan yang lebih penting, mengapa semua itu jelas-jelas gagal mencegah bencana lingkungan ini, bahkan ketika sebagian besar lahan telah menjadi kebun sawit.”
Kekhawatiran semakin meningkat atas adanya jurang pemisah antara sumber daya yang dialokasikan untuk Balai TNTN dan kondisi di lapangan yang kian memburuk. Para kritikus berpendapat bahwa kepemimpinan dan staf balai belum secara memadai memenuhi mandat mereka untuk menjaga ekosistem unik taman, yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan membahayakan masa depan flora serta fauna di dalamnya, termasuk gajah dan harimau sumatera yang sangat terancam punah.
Amri Koto, Ketua DPD Aliansi Jurnalis Penyelamat Lingkungan Hidup (AJPLH) Kabupaten Pelalawan, Minggu (15/6) menambahkan, “Kami sebagai Aliansi jurnalis yang berdedikasi pada lingkungan telah lama memantau situasi di TNTN.
Sangat disayangkan, janji-janji penegakan hukum dan perlindungan hutan seringkali hanya menjadi retorika belaka. Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah indikasi nyata kurangnya komitmen dan pertanggungjawaban dari pihak yang seharusnya menjadi garda terdepan penjaga TNTN.
Negara menggaji mereka, memberikan fasilitas, lantas apa yang sudah mereka lakukan saat puluhan ribu hektare hutan lindung beralih menjadi kebun sawit? Ini adalah kejahatan lingkungan yang tak termaafkan.”
Situasi saat ini menuntut tindakan segera dan transparan. Ada desakan kuat agar pihak berwenang terkait segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap praktik manajemen Balai TNTN dan bertanggung jawab atas penyusutan lahan yang masif ini.
Masyarakat dan pegiat lingkungan mendesak adanya penjelasan yang gamblang mengenai strategi balai, implementasinya, serta penilaian komprehensif atas kinerja mereka dalam melindungi salah satu kekayaan alam paling berharga di Indonesia.(Tim)