Maumere, Sikka (CYBER24.CO.ID) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), selaku kuasa hukum 8 masyarakat adat, menyampaikan sikap terkait putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Maumere dalam perkara pidana Nomor 1/pid.b/2025/PN.Mme antara Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut dengan PT. Krisrama.
Putusan hakim yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara, melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan kewenangan hukum majelis hakim, menimbulkan keprihatinan mendalam.
“Keputusan ini bukan hanya merugikan para terdakwa, tetapi juga mencederai prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak-hak masyarakat adat yang telah diakui secara konstitusional, instrumen hukum nasional maupun internasional,” ungkap Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN.
Penyimpangan Asas Hukum
PPMAN menilai bahwa keputusan ultra petita ini mencerminkan penyimpangan dari asas hukum yang berlaku, serta berpotensi memperburuk ketimpangan akses keadilan bagi masyarakat adat yang sering menjadi korban konflik dengan korporasi. Putusan ini juga mengabaikan fakta hukum bahwa masyarakat adat hanya berusaha mempertahankan tanah leluhur mereka dari perampasan dan eksploitasi.
Menurut Syamsul Alam, dalam perkara pidana, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat dari tuntutan penuntut umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP dan Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR.
Upaya Hukum
Atas putusan ultra petita yang merugikan terdakwa, dapat dilakukan upaya hukum banding dan kasasi.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengakui pemisahan horizontal, yang berarti penguasaan tanah berdasarkan bukti kepemilikan yang sah tidak serta merta menguasai harta benda di atasnya.
Anton Yohanis Bala, kuasa hukum terdakwa lainnya, berpendapat bahwa aparat penegak hukum, Kepolisian Sikka, harus menindaklanjuti laporan warga yang menjadi korban atas perbuatan pidana PT. Krisrama yang membongkar rumah dan tanaman produktif masyarakat adat pada 22 Januari 2025.
Tuntutan PPMAN
* Peninjauan Kembali Putusan: Mendesak Mahkamah Agung atau lembaga peradilan terkait untuk meninjau kembali keputusan ultra petita ini.
* Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih serius melindungi hak-hak masyarakat adat sesuai dengan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
* Evaluasi Independen: Menyerukan evaluasi independen terhadap proses peradilan untuk memastikan tidak adanya intervensi dan menjamin peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak.
* Tanggung Jawab Perusahaan: Menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas tindakan yang menyebabkan konflik, termasuk penguasaan tanah tanpa persetujuan, perusakan lingkungan, dan kriminalisasi.
“Kami akan terus mengawal kasus ini dan mengambil langkah hukum serta advokasi demi memastikan hak-hak masyarakat adat terlindungi,” tegas Syamsul Alam.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi hak asasi manusia untuk bersolidaritas dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat,” pungkasnya.
(YAF-13 Sikka)