BeritaLingkungan HidupNTT

DISKUSI PUBLIK URGENSI KEADILAN EKOLOGIS DI LODA WEE MARINGI PADDA WEE MALALA PERLINDUNGAN PETANI DAN NELAYAN DI TENGAH KRISIS EKOLOGI

×

DISKUSI PUBLIK URGENSI KEADILAN EKOLOGIS DI LODA WEE MARINGI PADDA WEE MALALA PERLINDUNGAN PETANI DAN NELAYAN DI TENGAH KRISIS EKOLOGI

Sebarkan artikel ini

Sumba Barat Daya(CYBER24.CO.ID) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menggelar diskusi publik bertajuk “Perlindungan Petani dan Nelayan di Tengah Krisis Ekologi” di Aula Universitas Stella Maris (UNMARIS) Sumba pada Rabu (10/09/2025).

Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian menuju Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang akan digelar pada tanggal 18-24 September di Pulau Sumba.

Rektor Universitas Stella Maris Sumba (Unmaris), Drs. Alexander Adis, MM, dalam sambutannya menekankan pentingnya menjaga hutan sebagai paru-paru dunia dan warisan generasi. “Kita sudah berada di titik keterlambatan, karena itu generasi sekarang harus melestarikan hutan dan biota laut,” ujarnya.

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, membuka pandangannya dengan sapaan adat wee maringi wee malala yang berarti “air yang menyejukkan kehidupan”. Ia menegaskan bahwa Pulau Sumba kaya akan sumber daya alam, karena itu adalah warisan leluhur yang harus dijaga.

“Bapak mama semua, kita satu Sumba. Jangan ada sekat barat atau timur, yang kita kenal adalah mata air yang memberi kehidupan. Banyak yang telah hilang dari Sumba, mulai dari cendana hingga kuda Sandelwood. Jika itu lenyap, artinya kita telah gagal menjaga warisan leluhur,” tegas Umbu Wulang dengan suara lantang.

Sementara itu, Dominikus Alphawan Rangga Kaka, Wakil Bupati Sumba Barat Daya yang membuka kegiatan secara resmi menekankan pentingnya forum empat tahunan WALHI yang mempertemukan pegiat lingkungan, masyarakat adat, dan akademisi. Ia menyebut menjadi tuan rumah PNLH XIV adalah sebuah kehormatan bagi Pulau Sumba.

“Sumba bukan hanya bagian dari peta Indonesia, melainkan juga bagian penting dari kebijakan dan gerakan masyarakat. Pemerintah daerah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, masyarakat adat, petani, nelayan, pegiat lingkungan, dan seluruh elemen masyarakat sipil,” katanya.

Baca Juga:  PUTUSAN MK PISAHKAN PEMILU NASIONAL DAN DAERAH, MASA JABATAN DPRD JADI SOROTAN: PEMERINTAH DAN DPR DIHADAPKAN PILIHAN SULIT

Narasumber Tekankan Solusi Nyata

Diskusi publik ini menghadirkan empat narasumber dengan beragam perspektif:
Dr. Keba Moto Tanabani menyoroti pentingnya inovasi lokal, salah satunya pengembangan pupuk biologis buatan Stella Maris untuk mendukung pertanian berkelanjutan di Sumba. Ia menegaskan perlunya kemandirian petani agar tidak bergantung pada pupuk kimia yang merusak tanah.

Yonathan B. Agu Ate memaparkan realitas krisis ekologis yang dihadapi petani, mulai dari kekeringan, gagal panen, banjir, longsor, pencemaran air, hingga punahnya keanekaragaman hayati. Ia menekankan perlunya kesadaran kolektif untuk merawat tanah dan air serta mengurangi penggunaan pestisida berlebihan yang merusak ekosistem.

Martha Rambu Bangi, sebagai aktivis Yayasan Bahtera, mengajak masyarakat melakukan aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti penghijauan pekarangan, pertanian organik, serta pengelolaan sampah. Ia menekankan bahwa perubahan iklim harus dijadikan kekuatan untuk transformasi hidup yang lebih ramah lingkungan.

Enos Eka Dede, S.Sos., Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumba Barat Daya, menjelaskan tiga masalah utama lingkungan di daerah tersebut: sampah, penebangan pohon, dan penambangan pasir. Pemerintah, katanya, tengah mendorong program strategis seperti penanaman pohon, pengolahan sampah, serta pengawasan ketat aktivitas tambang, sembari mengajak masyarakat dan swasta untuk terlibat aktif.

Berbagai isu mengemuka dalam sesi tanya jawab, mulai dari kelaparan, dampak penambangan pasir, hingga persoalan budaya belis. Dari keseluruhan diskusi, para peserta menegaskan bahwa peningkatan ekonomi harus berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan.

“Upaya menjaga tanah, air, dan hutan menuntut kerja keras kolektif, didukung data yang akurat untuk memperkuat advokasi kebijakan. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal seperti belis dipandang perlu dijaga karena memiliki makna luhur sebagai martabat masyarakat lokal.”

Diskusi publik ini menjadi momentum memperkuat solidaritas dan komitmen bersama melindungi ruang hidup petani, nelayan, dan masyarakat adat di tengah krisis ekologis yang kian nyata.

Baca Juga:  Beri Arahan di Munas KAPTI-Agraria 2025, Menteri Nusron Tekankan Peran Alumni dalam SDM dan Layanan Pertanahan

(Yuven Fernandez)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250