Bengkalis,(CYBER24.CO.ID) – PT. Marita Makmur Jaya (PT. MMJ) di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, menjadi sorotan tajam setelah dugaan praktik keji terhadap karyawannya terkuak. Perusahaan kelapa sawit ini diduga menguburkan jenazah karyawannya secara tidak layak di tanah berlumpur tepi laut, merampas hak-hak dasar, dan menerapkan kebijakan yang menyerupai perbudakan modern.
Laporan ini mencuat dari investigasi tim DPP LSM Komunitas Pemberantas Korupsi (KPK) bersama tokoh masyarakat Nias dan wartawan.
Kasus ini bermula dari laporan Kinanti, Ketua RW 06 Desa Darul Aman, dan Sudarsono Purba, Ketua RT 12, Kecamatan Rupat, yang melaporkan kondisi kuburan karyawan PT. MMJ yang penuh dan berlumpur kepada Babinsa dan Babinkamtibmas. Namun, laporan tersebut tidak mendapatkan tanggapan serius.
Tim investigasi yang turun langsung ke lokasi pada Selasa (22/04/2025) terkejut menyaksikan proses pemakaman karyawan PT. MMJ di dalam lumpur laut pada malam hari. Hal ini diduga dilakukan untuk menghindari deteksi aparat hukum. Bowonaso Laia, akrab disapa B. Anas, tokoh masyarakat Nias, menduga pihak manajemen PT. MMJ hanya memeras keringat karyawan dan membuang jenazah mereka bagaikan bangkai binatang setelah meninggal dunia.
“Saksi mata dan tim investigasi mendapati dua peti jenazah diangkut menggunakan alat berat zonder (pembuang sampah) milik perusahaan, dan satu peti jenazah bayi diangkut sepeda motor menuju kuburan berlumpur,” ungkap Tehe Z Laia dari DPP LSM KPK. Lebih parahnya, alat berat zonder tidak dapat melewati bendungan buatan PT. MMJ, sehingga peti jenazah harus diampungkan atau didorong menyeberangi air dan dipikul kerabat menuju pemakaman berair lumpur.
Selain penguburan yang tidak layak, dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh PT. MMJ sangat miris. Hak-hak mendiang karyawan tidak dibayarkan. Fasilitas sosial di lingkungan perusahaan sangat minim, seperti tidak adanya rumah ibadah dan sekolah formal. Anak-anak karyawan hanya mendapatkan pendidikan non-formal tanpa bimbingan guru profesional.
Manajemen PT. MMJ juga diduga melarang karyawan keluar dari lokasi perusahaan, bahkan hanya untuk membeli kebutuhan dasar seperti rokok, sayur-mayur, atau garam. Bagi yang melanggar, dikenakan denda fantastis sebesar Rp1.000.000. Untuk memperketat pembatasan ini, perusahaan bahkan membuat “Parit Gajah” atau bendungan di perbatasan akses keluar.
Kasus Arisman Zai: Potret Kekejaman Perusahaan
Salah satu korban kebijakan kejam ini adalah Arisman Zai sebelum meninggal Pada Senin (21/04/2025), Arisman mengeluh sakit perut parah. Namun, manajemen PT. MMJ menolak memberikan izin berobat ke luar. Takut didenda dan gajinya selama sebulan dianggap hangus, Arisman memilih bertahan di rumah hingga meninggal dunia pada pukul 17.00 WIB.
Penderitaan tidak berhenti di situ. Pihak perusahaan tidak memberikan formalin pada jenazah Arisman, sehingga keluarganya tidak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Bahkan, untuk papan kayu yang dijadikan peti jenazah, PT. MMJ diduga meminta pembayaran dari keluarga almarhum. Kuat dugaan bahwa perusahaan ini menjadikan musibah karyawan sebagai “bisnis” untuk mendapatkan keuntungan.
Humas PT. MMJ, Tanti Marit Siregar, saat dikonfirmasi pada Jumat (09/05/2025), mengakui bahwa perusahaan tidak memiliki ambulans, melakukan penguburan jenazah karyawan di malam hari, dan kuburan untuk karyawan Kristen memang berlumpur. Ia juga membenarkan bahwa perusahaan tidak memberikan formalin pada jenazah dan mengangkutnya menggunakan zonder sampah. Namun, ia membantah adanya denda Rp1 juta bagi karyawan yang berbelanja di luar. Tanti menyatakan bahwa informasi lebih lanjut akan diberikan oleh Hulberson Simaremare, Direktur PT. MMJ.
Menanggapi berbagai temuan ini, Tehe Z Laia dari DPP LSM KPK berjanji akan membawa masalah ini ke ranah hukum dan menggerakkan demo besar-besaran untuk menuntut keadilan. Ia menegaskan bahwa PT. MMJ telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia, perampasan kemerdekaan, dan dugaan penggelapan pajak. Somasi yang telah dilayangkan tim investigasi ke PT. MMJ juga tidak mendapatkan tanggapan serius.
Selain itu, puluhan karyawan juga mengeluhkan praktik perhitungan hasil kerja yang tidak adil. Truk petak 3 yang seharusnya berisi 10-12 ton hanya dihitung 6 ton kotor dan 4,5-5 ton bersih setelah dipotong dengan alasan buah mentah atau sampah. Padahal, buah yang dianggap mentah tetap diolah oleh perusahaan tanpa diperhitungkan upahnya.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi penegak hukum dan pemerintah untuk segera menindak tegas PT. MMJ dan memastikan hak-hak karyawan terpenuhi, serta menghentikan praktik-praktik yang merendahkan martabat manusia.
(Sumber Berita: Harimaupagi.com)