Jakarta,(CYBER24.CO.ID) – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengukir sejarah baru dalam tata kelola pemilu Indonesia. Dalam putusan perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Kamis (26/6/2025), MK mengabulkan permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan menyatakan sistem pemilu serentak lima kotak adalah inkonstitusional bersyarat.
Artinya, mulai tahun 2029, pemilu nasional (Presiden, DPR RI, DPD) dan pemilu daerah (Kepala Daerah, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) akan dipisah. Pemilu nasional akan digelar lebih dulu, disusul pemilu daerah dua hingga dua setengah tahun kemudian.
Putusan ini membatalkan semangat Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang menyatukan semua kontestasi dalam satu hari pemilihan demi efisiensi dan integrasi kepemimpinan politik. MK berpandangan keserentakan justru membebani pemilih, melemahkan partai politik, dan membuat isu lokal tenggelam.
Implikasi Besar bagi Masa Jabatan DPRD
Di balik niat rasional MK untuk memperbaiki kualitas demokrasi, putusan ini memunculkan satu pertanyaan krusial yang belum terjawab: bagaimana nasib masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024?
Jika pemilu nasional digelar pada 2029, logikanya pemilu daerah akan digelar pada 2031. Hal ini berarti masa jabatan anggota DPRD saat ini berpotensi molor menjadi tujuh tahun, melampaui mandat lima tahun yang diamanatkan Pasal 22E UUD 1945.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, secara terang-terangan menyebut, “Kemungkinan besar DPRD akan bertambah masa jabatan sekitar dua tahun.” Senada dengan itu, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, mengakui pemerintah akan merespons melalui revisi undang-undang, namun rumusan detailnya masih akan dipelajari.
Namun, perpanjangan masa jabatan ini menimbulkan gelombang kekhawatiran di ruang publik. Rakyat memilih wakilnya untuk lima tahun, bukan tujuh tahun. Perpanjangan tanpa pemilu, melalui revisi undang-undang, dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap mandat rakyat dan berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum serta kekacauan dalam sistem perwakilan. Alternatif pemotongan masa jabatan pun dinilai absurd karena juga menyalahi mandat suara jutaan pemilih.
Respons Publik dan Analisis Pengamat
Putusan MK ini langsung menjadi buah bibir di media sosial, dengan tagar #PemiluPisah dan #Jeda2Tahun yang menjadi tren. Komentar masyarakat menunjukkan ketidakpuasan, banyak yang menilai perpanjangan masa jabatan sebagai “akal-akalan” dan bukan cerminan demokrasi.
Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, mengakui bahwa pemisahan pemilu memang dapat membuat proses lebih tertata dan beban kerja penyelenggara lebih ringan. Namun, ia juga mengingatkan tentang potensi pembengkakan beban fiskal, kejenuhan pemilih, dan suburnya praktik “lompat panggung” politik antar-pemilu. Sumampow menekankan pentingnya pengelolaan yang ketat dan transparan agar demokrasi tidak terjebak pada pola coba-coba.
Publik memandang bahwa pasca putusan MK ini, pemerintah dan DPR memiliki pekerjaan rumah besar untuk segera memberikan kejelasan. Publik membutuhkan kepastian mengenai nasib masa jabatan wakil mereka. Jika ada perpanjangan atau penyesuaian, dasar konstitusionalnya harus dijelaskan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik yang luas.
Kegagalan memberikan kejelasan sejak awal dapat memicu tafsir liar, polemik berkepanjangan, dan bahkan kekacauan politik di daerah. Kepercayaan publik pada proses demokrasi sangat bergantung pada kesiapan dan transparansi pemerintah serta DPR dalam menindaklanjuti putusan penting ini. (Redaksi)